Al Imam
Abu Dawud meriwayatkan dari sahabat yang mulia Al ‘Irbadh bin Sariyah
radliallahu anhu, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menasihatkan kepada kami dengan satu nasihat yang menggetarkan hati-hati kami
dan air mata pun berlinang karenanya. Maka ketika itu kami mengatakan: “Duhai
Rasulullah, nasihat ini seperti nasihat orang yang mau mengucapkan selamat
tinggal, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian bertakwa kepada Allah, untuk
mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan
barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang
dengan sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan
petunjuk. Pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati
kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru ( bid‘ah) itu
sesat.” (HR. Abu Dawud no.
3991)
Kandungan Hadits
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya :
“Berilah nasihat kepada mereka dan katakanlah kepada mereka ucapan
yang bisa dipahami, mengena dan menancap di jiwa-jiwa mereka.” (An Nisa’: 63)
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki sifat selalu memberikan bimbingan kepada
jalan yang lurus terhadap siapa saja dari kalangan umatnya, sehingga ketika
para sahabatnya meminta agar beliau memberikan nasihat maka beliau pun
memenuhinya diiringi dengan hikmah.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih
kata-kata yang tepat, lafadz yang indah, mengena di hati dan menancap dengan
dalam. Beliau tidak menyampaikan nasihat dengan kalimat yang panjang lagi
bertele-tele, namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan
dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabatnya sebagai orang
yang memiliki jawami`ul kalim (perkataan yang ringkas namun padat). Sebagaimana
sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Aku diutus dengan jawami‘ul kalim.” (HR. Al Bukhari no. 2977 dan Muslim no. 523)
‘Ammar
bin Yasir radliallahu anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan
dipenuhi dengan kata-kata yang tepat, ibarat yang indah dan menancap di hati.
Seusai khutbah, ada seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi
dengan jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan ringkasnya
khutbahnya merupakan tanda kefaqihannya. Karena itu panjangkanlah shalat dan
ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan ada yang
membuat orang tersihir.” (HR.
Muslim no. 869)
Nasihat
yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu
sangatlah menancap di hati para sahabatnya hingga hati mereka bergetar dan air
mata mereka pun berlinang karenanya. Inilah sifat kaum mukminin tatkala
mendengar nasihat dari Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Hanyalah yang dikatakan orang-orang beriman itu adalah mereka
yang ketika disebut nama Allah bergetar hati-hati mereka.” (Al Anfal: 2)
“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul,
engkau akan melihat mereka berlinangan air mata karena apa yang mereka ketahui
dari kebenaran.” (Al Maidah:
83)
Demikianlah
nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang seolah-olah beliau akan
pergi meninggalkan mereka dengan memberikan nasihat perpisahan. Sebagaimana
yang telah diketahui, orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan
sesuatu yang penting kecuali disampaikan dan dipesankannya. (Tuhfatul Ahwadzi,
7/366, ‘Aunul Ma`bud, 12/234).
Kandungan Wasiat Penting Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
Setelah
mendengar nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabat pun
khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rasulullah setelahnya, sehingga
untuk menyempurnakan nasihat yang ada, mereka meminta wasiat beliau, seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini nasihat orang yang akan berpisah,
karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat, di
antaranya:
1. Wasiat untuk Takwa kepada Allah
Takwa
merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh seruan kepada
pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa
ini.
Takwa
ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang-orang
terdahulu maupun yang belakangan, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberikan
Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (An Nisa: 131)
Kita
diperintah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengannya sebagaimana
firman-Nya:
“Berbekallah kalian, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa.” (Al Baqarah: 197)
Oleh
karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.
2. Wasiat untuk Mendengar dan Taat
Yang
dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di
sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin, karena taat kepada mereka akan
membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan mentaati mereka
akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin (rakyat) dan menjadi amanlah
negeri, di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.
Hal ini
merupakan kewajiban agama karena Allah telah berfirman:
“Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah
dan kepada pemimpin di antara kalian.”
(An Nisa’: 59)
Kewajiban
mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin itu
seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah
berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat
sekalipun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah (Ethopia) yang
rambutnya seperti kismis.” (HR. Al Bukhari dari Anas bin Malik no. 7142
dan Muslim dari Abu Dzarr no. 648)
Al Imam
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata:
“Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi penyebutan pemimpin
dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak
mungkin terjadi, sama halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besarnya hanya seperti sarang
burung maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” Dan telah
diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia
sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”
Dimungkinkan
pula di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan rusaknya
perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya
kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya). Sehingga
andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan
taat (dalam rangka menolak kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa
menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada,
dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi
pemimpin. Yang mana apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan kepada
fitnah yang besar.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah, hal. 75)
Tentunya
ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf (kebaikan),
tanpa melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah
dalam perkara kebaikan.” (HR. Al Bukhari no. 4340 dan Muslim no. 1840)
3. Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah
Nabi
Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian yang masih
hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena
itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’
Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan
gigi geraham kalian.”
Ini
merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, di mana beliau mengabarkan kepada para sahabatnya tentang
perkara yang akan datang sepeninggalnya, yakni akan terjadi perselisihan yang
banyak di kalangan umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau
bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 70 lebih golongan, semuanya
masuk neraka kecuali satu yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa
yang dipegangi oleh Rasulullah dan para sahabatnya. (Shahih Sunan At Tirmidzi,
no.2129)
Karena
itulah, sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan
ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan para Al Khulafa’ Ar
Rasyidin. Saking kuatnya keharusan berpegang tersebut hingga diibaratkan
seperti menggigit dengan geraham (Jami’ul ‘Ulum, 2/126). Ditambahkan oleh
Syaikhul Islam bahwa dikhususkannya penyebutan geraham dalam hadits ini karena
gigitan gigi geraham ini sangat kokoh. (Majmu` Fatawa, 22/225).
Kata Al
Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap kepayahan
yang menimpanya di jalan Allah, sebagaimana yang harus dihadapi orang yang
sakit terhadap derita yang menimpanya dari sakitnya.” (Syarah Ibnu Majah, Al
Imam As Sindi).
Adapun
sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini
adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas. (Syarhul Arba’in, hal. 75).
Selain
mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelahnya untuk memegangi
sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallahu ‘anhum, kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para
khalifah ini disifatkan dengan (Ar Rasyidin) karena mereka mengetahui,
mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya. Mereka adalah (Al Mahdiyyin)
karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada kebenaran dan tidak
menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut. (Syarhul Arba’in, hal. 75, Jami`ul
‘Ulum, 1/127)
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin
dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa
jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri, dan bisa pula mereka mengikuti apa yang
mereka pahami dari Sunnah Nabi secara global dan rinci, yang mana perkara
tersebut tersembunyi bagi yang lainnya. (Al I’tisham, 1/118)
Al Imam
Asy Syaukani dalam Al Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang
ditempuh, sehingga seakan-akan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
‘Tempuhlah jalanku dan jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin’. Jalannya Al Khulafa’
Ar Rasyidin di sini sama dengan jalannya Rasulullah karena mereka merupakan
orang yang paling bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan
mengamalkannya dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaannya, mereka sangatlah
berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang
menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sekalipun dalam perkara
yang terbilang kecil, terlebih lagi dalam perkara yang besar.”
Beliau
kemudian melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah ra`yu (pendapat)
yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain
mereka, sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah
Rasulullah, dan juga lebih baik daripada tidak ada dalil.” (Dinukil dari
Tuhfatul Ahwadzi, 7/367)
4 Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ah
Ucapan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:“Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru”,
merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan
lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asalnya sama
sekali di dalam syariat ini. Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini
dengan sabdanya: “ karena setiap bid`ah itu sesat”.
Adapun
ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka kembalinya hal
tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan bid‘ah menurut syariat.
Seperti perkataan Umar radliallahu anhu ketika melihat kaum muslimin shalat
tarawih berjamaah dipimpin seorang imam, ia berucap: “Sebaik-baik bid‘ah adalah
perbuatan ini.”
Shalat
tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i karena perbuatan
ini telah ada asalnya dalam syariat, di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
pernah melakukannya bersama para sahabat selama beberapa malam dari malam-malam
Ramadhan. Adapun Umar hanya menghidupkannya kembali setelah Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tidak melanjutkan pelaksanaannya karena khawatir perkara
tersebut akan diwajibkan kepada umat beliau, sementara mungkin ada di antara
mereka yang tidak mampu melaksanakannya.
Wallahu
ta‘ala a‘lam bish shawaab
Penjelasan
Riwayat Hadits
Al
Hafidz Abu Nu‘aim berkata: “Hadits ini jayyid (bagus), termasuk hadits yang
shahih dari periwayatan orang-orang Syam.” Beliau juga mengatakan: “Al Bukhari
dan Muslim meninggalkan hadits ini (yakni tidak memuat dalam kitab shahih
mereka) bukan karena mengingkarinya.”
Al
Hakim menyatakan, Al Bukhari dan Muslim meninggalkan penyebutan hadits ini
disebabkan anggapan yang keliru dari keduanya bahwa tidak ada seorang rawi pun
yang meriwayatkan dari Khalid bin Ma‘dan kecuali Ats Tsaur bin Yazid, padahal
sebenarnya ada perawi lain yang meriwayatkan dari Khalid seperti Buhair bin
Sa‘ad, Muhammad bin Ibrahim At Taimi dan selain keduanya.
Namun
pernyataan Al Hakim ini dijawab oleh Al Hafidz Ibnu Rajab: “Sebenarnya hal ini
tidaklah seperti persangkaan Al Hakim. Adapun Al Bukhari dan Muslim tidak
mengambil hadits ini karena hadits ini tidak memenuhi syarat mereka berdua di
dalam kitab shahihnya, di mana Al Bukhari dan Muslim sama sekali tidak
mengeluarkan dalam shahihnya riwayat dari Abdurrrahman bin Amr As Sulami dan
dari Hujr Al Kala`i. Dan juga dua orang rawi yang disebut ini tidaklah terkenal
(masyhur) dalam keilmuan dan periwayatan hadits.”
Adapun
Abdurrahman As Sulami, salah seorang perawi dalam hadits ini, maka ia masturul
hal (keadaannya tidak diketahui), walaupun telah meriwayatkan darinya jama‘ah
(sekelompok orang) namun tidak ada seorang alim yang mu‘tabar (teranggap dan
diakui keilmuannya) yang men-tsiqah-kannya (menganggapnya terpercaya). Ibnul
Qaththan Al Fasi mendha’ifkan (melemahkan) hadits ini karena hal tersebut.
Demikian
pula dengan Hujr bin Hujr Al Kala‘i, tidak ada yang meriwayatkan darinya
kecuali Khalid bin Ma‘dan dan tidak ada seorang alim yang mu‘tabar yang
men-tsiqah- kannya, sehingga ia dinyatakan majhulul ‘ain (rawi yang tidak
dikenal). Berkata Ibnul Qaththan: “Orang ini tidak dikenal.” Namun sebagaimana
kata Al Imam Al Hakim di atas, hadits ini diriwayatkan juga dari selain mereka
berdua dan disebutkan jalan-jalannya yang saling menguatkan satu dengan lainnya
oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum, maka hadits ini hasan.
Penghasanan hadits ini dinyatakan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi‘i
rahimahullah, walaupun ada sebagian ulama yang menshahihkannya, sehingga mereka
bersepakat bahwa hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil atau argumen),
kecuali Ibnul Qaththan Al Fasi yang mendha’ifkan hadits ini.
(As
Sunnah Ibnu Abi Ashim, no. 27, Ash Shahihul Musnad, 2/71, Jami‘ul ‘Ulum wal
Hikam, 2/110, Mizanul I’tidal, 2/207, Tahdzibut Tahdzib, 2/188, 6/215).
Sumber
: Merujuk pada tulisan Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsary, dengan judul
asli “Nasehat Nan Penuh Kenangan”, Majalah Asy Syariah. Untuk
0 komentar:
Posting Komentar